Obrolan sopir taksi, sebagaimana warga biasa umumnya sering diabaikan. Mereka bukan dosen, bukan doktor, apalagi profesor yang kata-katanya berisi, bernas dan penuh ilmu. Obrolan sopir taksi dengan ratusan penumpangnya setiap hari hanyalah "ocehan" ringan khas warga biasa. Tetapi siapa sangka, seorang Kafi Kurnia, konsultan dan kolomnis, banyak menggali pengalaman hidup dari sopir taksi termasuk pendapat mereka bagaimana seharusnya pemerintah menangani para koruptor.
Di media sosial Kompasiana Kafi Kurnia yang dalam setiap presentasinya menggunakan gaya dan bertutur cara Betawi berterus-terang, ia sempat membeli sebuah buku kecil yang berjudul "Taxi Driver Wisdom" saat berada di New York menjelang krisis ekonomi 1998. Buku kecil itu menurutnya berisiuneg-uneg para supir taksi di New York yang dikumpulkan Risa Mickenberg.
"Lucu, menggelitik dan kalau direnungkan terasa kebenaran yang polos terkadang nyelekit. Barangkali saja Tuhan menakdirkan sopir taksi memiliki pemikiran yang sangat berbeda, yang membuat mereka bijaksana dengan cara yang sangat unik. Terkadang kita suka bertemu dengan sopir taksi yang bawel dan bicara ngalor ngidul nggak keruan. Sering terasa tidak nyaman. Namun setelah membaca 'Taxi Driver Wisdom', saya jadi lebih memberikan perhatian," tulis Kafi.
Kafi mengungkapkan pertemuannya dengan seorang sopir taksi bernama Koeswanto, saat perjalanan dari hotel menuju Bandara di Surabaya, beberapa waktu lalu. Dalam perjalanan ke Bandara, sekelompok anak muda memadati bagian jalan mengakibatkan kemacetan. Sopir taksi lalu menggerutu sampai kemudian pada kisah yang menurut Kafi menarik.
Diceritakan, salah satu tetangga sopir taksi itu anaknya masuk rumah sakit karena demam berdarah. Tidak ada biaya sehingga anak tetangga sopir taksi itu tidak bisa ditebus. "Mulanya saya tersenyum saja. Ini cerita biasa di Republik ini. Kisahnya banyak kita temukan dikoran setiap hari. Dan sayapun bisa menebak kelanjutan cerita, pasti tetangganya akan menjadi maling dan nyolong sesuatu," tulis Kafi.
Dugaan Kafi benar, tetangga sopir taksi itu lalu nyolong dan menjadi maling, membawa kabur motor salah satu tokoh terpandang di kampung. Sial, ia tertangkap basah oleh massa dan sang tetangga itu dihajar sampai babak belur. Ironisnya, kata Kafi mengutip cerita sopir taksi, sang tetangga harus masuk rumah sakit dan harus dipenjara, sementara anaknya tidak tertebus. Akhirnya, terpaksa para tetangga urunan dan menebus sang anak agar bisa keluar dari rumah sakit.
Secara menarik, tulis Kafi lagi, sopir taksi itu mengurai cerita tadi. Katanya, orang kecil seringkali dicap sebagai tidak berpendidikan, tidak tahu hukum dan seringkali main hakim sendiri. Orang kecil di kampung seringkali frustasi karena mereka merasa jarang sekali mendapat perlindungan hukum. Kafi menceritakan, sopir taksi itu bertanya kapan terakhir kali ia melihat polisi membantu orang biasa menyeberang jalan. "Saya jadi tersenyum mendengarnya," aku Kafi.
Lalu sopir taksi itu mencontohkan bagaimana bedanya orang penting kalau berpergian. Mobil orang penting cuma satu, tetapi yang mengawal bisa selusin dan galaknya bukan main. Semua mulut jalan ditutup. Akibatnya bikin macet dimana-mana.
"Pak Koes tertawa terkekeh-kekeh. Ia bilang kenapa sih para orang penting itu selalu terburu-buru? Kenapa mereka nggak bisa pelan sedikit dan ikut bersama rakyat menikmati kemacetan kota? Secara sinis pak Koes mengatakan bahwa mungkin itulah sebabnya jalanan tetap macet karena orang penting tidak pernah merasakan macet dan tidak pernah tahu masalah macet. Inilah pencerahan pak Koes yang membuat saya terpingkal-pingkal. Iseng saya tanya apakah pak Koes mau jadi Presiden biar dikawal kemana-mana? Kini gantian Pak Koes yang tertawa. Ia tidak menjawab," papar Kafi.
Pak Koes, kata Kafi, melanjutkan. Ia bercerita bahwa seringkali maling digebuki ramai-ramai, bukan karena main hakim sendiri, tetapi masyarakat seringkali merasa perlu bahwa maling itu diberi pelajaran agar kapok tidak lagi mau mencuri dimasa depan, serta menjadi peringatan agar maling-maling lainnya tidak berani mencuri di kampung mereka. Sopir taksi itu lalu menggugat situasi korupsi yang sekarang beredar. Ia secara kritis mengatakan bahwa zaman sekarang yang korupsi semakin banyak. "Lalu saya ceritakan bahwa sekarang Indonesia sedang gencar memberantas korupsi, makanya ada KPK segala," kata Kafi.
Di luar dugaan, lanjut Kafi, sopir taksi yang dipanggilnya Pak Koes itu tidak setuju dengan pendapatnya. Katanya, koruptor harus dibikin kapok persis maling motor tadi, kalau perlu digebukin rame-rame dan dihukum mati. "Saya terkesima. Barangkali Pak Koes benar adanya. Sistim hukuman para koruptor di Republik ini terlalu ringan dan tidak membuat jera para pelakunya," tulis Kafi.
Apa kiat dan pendapat sopir taksi mengenai bagaimana seharusnya pemerintah Indonesia menangani para koruptor yang tidak pernah tahu malu dan tak pernah jera ini? Ternyata sopir taksi sebagai warga biasa ini punya pendapat yang masuk akal, bahkan brilian, setidak-tidaknya demikianlah menurut penilaian Kafi Kurnia.
Sumber : Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar