Banyak wanita saat ini berperan
sebagai kepala rumah tangga. Berprofesi sebagai sopir taksi adalah
jalan yang harus ditempuh oleh Siti Bugiah untuk kembali bangkit dalam
menggapai cita-cita hidupnya.
Waktu masih menunjukan
pukul 05.00 WIB, ketika banyak orang masih terlelap nyenyak diperanduan,
wanita yang satu ini justru beranjak meninggalkan rumah kontarakannya
di kawasan Larangan, Tangerang. Dengan mengendarai sepeda motor pinjaman temannya, ibu dua anak ini menuju pul taksi yang berjarak 5 km dari tempat tinggalnya.
Tidak banyak keinginan yang diharapkan
Siti dalam menggeluti profesinya sebagai sopir taksi. Sejak berpisah
dengan mantan suaminya pada 2006 silam, semua tanggung jawab keluarga
beralih kepadanya. Membesarkan dan mendidik 2 anak yang masih kecil
bukanlah perkara mudah. Namun semangat tinggi yang dimiliki wanita ini
mampu mengalahkan semua tantangan yang dihadapi dalam kehidupan
sehari-hari.
“Aku menjalani semua dengan apa adanya.
Justru aku bersyukur masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk
membesarkan dan menyekolahkan anak,” ungkap, Bunda, begitu ia biasa
dipanggil oleh teman seprofesinya.
Pekerjaan yang digelutinya ini berawal
pada tahun 2007, setelah usaha toko sembakonya bangkrut akibat kenaikan
harga, ia direferensikan oleh guru anaknya untuk menjadi sopir di Trans
TV. Namun nasib baik belum berpihak kepadanya, pekerjaan itu telah
terisi oleh orang lain.
Kemudian ia pun ditawarkan untuk menjadi
sopir taksi Blue Bird, setelah menjalani tes akhirnya pekerjaan ini
didapatkannya. Ia pun mengakui saat pertama menjadi sopir taksi ada
perasaan malu bila bertemu teman atau saudara di jalan. Karena ingat
dengan buah hatinya, rasa malu itu hilang.
“Buat apa gengsi, semua aku lakukan demi anak. Tidak masalah jika harus kaki di kepala atau kepala di kaki.” tegasnya.
Mengendarai mobil
bukanlah suatu hal yang baru bagi wanita berusia 45 tahun ini. Pasalnya
sejak SMA ia sudah belajar mengendarai, saat itu dengan menunggangi
Suzuki Katana dan Suzuki Carry.
Berkendara di jalan Jakarta yang
terkenal dengan kemacetannya menjadi santapan Bunda setiap harinya.
Selama 12 jam wanita bertubuh mungil ini berjibaku dengan lalu lintas
kota Jakarta yang dipenuhi jutaan kendaraan. Selalu siap melayani dan
mengantar tamu ke tempat tujuan dengan penuh senyuman. Kesabaran menjadi
pegangan hidupnya dalam menelusuri jalan sejauh 250 km setiap harinya,
semua dijalaninya dengan rasa senang.
“Mau macet, mau banjir aku jalani dengan happy,” tutur, Bunda.
Tidak hanya berkendara di Jakarta, ia
pun sering mengantarkan tamunya hingga ke Serang, Bogor dan Puncak.
Tutur bahasanya yang sopan membuat wanita ini disenangi oleh para
tetangga, teman seprofesi, bahkan tamu yang di antar. Banyak
pelanggannya yang menggunakan jasa
wanita ini dengan langsung menelpon
ke nomor pribadinya. Saat waktu libur pun dimanfaatkan menjadi sopir
pribadi.
Untuk urusan anak yang ia tinggalkan
selama bekerja, diserahkan kepada tetangga yang diakuinya seperti orang
tuanya. Namun ia tetap mengurus semua keperluan anaknya termasuk
menyiapkan makan sebelum berangkat kerja.
Dengan penghasilan berkisar Rp 3 – 3,5
juta/ bulan, wanita ini sudah dapat menyisihkan pendapatannya untuk
membayar asuransi kedua anaknya dan keperluan lainnya. Selalu bersyukur
dengan apa yang ia dapatkan, membuat dirinya semakin kokoh dalam
berjuang menggapai cita-citanya.
“Hidup ini hanya sekali, jadi dinikmati saja. Yang penting selalu berdo’a dan beribadah.” ujarnya.
Matahari mulai terbenam, dalam kegelapan
malam sopir taksi ini pun bergegas pulang ke rumah. Meski buah hatinya
telah tidur mendahuluinya, ia pun merasa senang bisa tetap berkumpul
dengan keluarganya dan berharap bisa tetap berjuang di esok harinya
dengan terang.
Seperti buku karangan Raden Ajeng Kartini yang berjudul, Habis Gelap Terbitlah Terang. Ayo tetap semangat Wanita Indonesia.